Akhir-akhir ini timeline dan feed saya di social media menampilkan cukup banyak hal menarik. Mulai dari yang inspiratif sampai yang bikin menggeleng-gelengkan kepala dan mengelus dada. Salah satu yang cukup ramai dan menarik adalah fenomena di kalangan anak sekolahan terutama dari kampung halaman saya sendiri jakarta. *menyadari sudah mulai tua memasuki early 20 tahun ini*
Sebenernya saya gak mau judge-judge gak jelas dalam post ini. Hanya sekedar beropini aja terhadap fenomena yang ada yang menurut saya makin hari makin "goes wrong". Saya pernah sekolah, saya pernah nikmatin masa SMA, jarak umur saya sama dedek-dedek itu juga gak jauh-jauh amet. Bisa dibilang cukup dekat malah. Jadi fenomena-fenomena yang viral di sosial media tersebut pada dasarnya juga udah ada sejak saya SMA *but i think they weren't that intense in my era*. Jadi saya agak heran aja kok menurut saya sekarang agak way too far ya? Hmm anggap aja saya yang kuno heuheuheu. Tapi back to the point, saya gak maksud nyinyir. Fenomena pertama yang viral di feed saya adalah perayaan setelah UN atau pengumuman UN. Perayaan setelah UN biasanya pelajar melakukan aksi macem-macem yang menurut saya jadi manefestasi rasa lega atau rasa syukur mereka. Biasanya aksi yang dilakukan ya tergantung sama lingkungan dan pergaulan SMAnya sendiri. Ada yang mulai dari doa bersama, nyumbang seragam bekas, bagi-bagi makanan (kalau ini di kota tempat saya kuliah sekarang), corat-coret seragam, konvoi sampai post-exam party. Kalau ditanya dulu saya ngapain setelah dinyatakan lulus UN sih, ya saya gak ngapa-ngapain. Alhamdulillah sekolah saya anak-anaknya gak neko-neko, Lingkungan sekolah saya dulu emang bisa dibilang cukup kondusif dan terjaga, beside anak-anaknya dasarnya juga emang gak aneh-aneh, dan sebandel-bandelnya masih tolerable. Ya standar sekolah-sekolah 5 besar provinsi gitu deh hehe *sombong dikit*. Jadi dulu setelah pengumuman, disekolah cuma lempar topi (entah apa maksudnya), sama nyumbangin seragam SMA. Abis itu pulang atau makan-makan sama yang lain. Gak ada coret-coret atau konvoi karena pada dasarnya emang bukan tradisinya di sekolah kami. Tapi di SMA lain tetep banyak kok yang coret-coret atau konvoi. Malah dari jaman saya udah ada tuh undangan post-exam party di club-club gitu. Jadi mengenai euforianya, saya samasekali gak heran. Terus yang bikin heran apa? Ya dari pengamatan saya melalui dunia maya yang semu tapi representasi dari dunia nyata ini, kok sekarang getting insane eh intense ya? coret-coret sampe belahan di rok yang sangat ketat dan tercoret-coret sampai kepaha, bahkan ada yang sampai ngerobek (literally full cutting) roknya sampai paha. Lalu dilanjutkan dengan pose yang sekarang ini dibilang 'lordosis' wkwkwk, yaitu pose yang sedikit show off curve kamu (kalo ini juga nggak heran, dari jaman saya juga udah ada. biasa aja jadinya). Cuma yang bikin saya heran ya itu tadi, Motong belahan atau rok sampai ke paha atas, Bingung aja, buat apaan coba? Kalo dulu sebagai cewek mandiri, saya pulang pergi ke SMA naik motor, jadi rok saya gak bisa dibikin ketat-ketat gemes gitu, apalagi dirobek sampai paha. Bisa jadi korban pelecahan seksual saya di tengah jalan. Hmm, positive thinking aja mereka pulangnya bawa mobil atau bawa baju ganti wkwk. Oh iya satu lagi yang mengherankan adalah foto-foto coret-coret dimana cowok-cowok smanya megang pantat salah satu ceweknya *omg this is so sad yet frustrating*. I mean, perlukah kamu sampai kayak gitu? which is menurut saya keenakan di cowoknya rugi di ceweknya. Saya jadi bingung mau positive thinking dengan cara apa kalo soal ini. Oke lanjut ke fenomena kedua yang viral adalah public display affection (PDA). Seriously, saya lebih gemes sama fenomena ini dibandingkan fenomena yang sebelumnya. Karena saya bisa dibilang orang yang kurang suka sama PDA *bukan karena jomblo atau sirik tapi ya, plis -_-*. Bagi saya, hubungan percintaan bukan ranah yang tepat untuk ditampilkan di publik, Akhir-akhir ini dari feed serta tulisan-tulisan opini menarik teman-teman di social media saya juga, saya melihat banyak banget orang-orang yang ditasbihkan oleh netizen dan fans-fansnya sebagai anak hitz, gaul, role model, relationship goals dan lainnya upload foto ciuman, video ciuman, PDA di tempat umum ala-ala tumblr. Saya sebenernya gak masalah dengan orang-orang yang pacaran di tempat umum asalkan masih tau batasan. Saya juga bukan orang yang suka mempermasalahkan "tingkat pacaran" orang lain mau dia hanya sekedar status buat jalan berdua atau sampai hubungan intim seperti hubungan badan. That's obviously none of my business. Itu juga bukan merupakan hal baru. Silahkan lakukan tapi tau tempat. Yang saya herankan, apasih urgensi kamu dengan kesadaran penuh upload hal semacam itu ke ranah publik? Perlukah dunia tau kamu sedang ciuman sama pacarmu? Kasarannya, get a room please hehe. I guess people need to learn how to classify something whether it private or common in public. Belum lagi biasanya setelah menuai kontra dari netizen social media, pemilik akun umumnya akan berdalih dengan alasan dont judge, this is my life, urus aja dirimu sendiri, we are not live to pleased anyone dan lainnya. Saya sendiri juga setuju kalau kita hidup memang bukan untuk memuaskan orang lain. Tapi apakah kamu sadar bahwa kontra tersebut merupakan hukum aksi reaksi dari tindakan yang kamu lakukan? Jangan semata menyalahkan society atas kontradiksi mereka terhadap tindakanmu kalau kamu memang gak siap menuai hasil dari tindakanmu. Mengutip kata-kata sesorang yang pernah saya baca tapi saya lupa namanya, "kamu ingin perhatian, kamu ingin atensi tapi ketika orang-orang memberi reaksi atas tindakanmu, kamu malah marah dan ngambek kayak anak kecil". Heuu people need to buy some characters. (termasuk saya) We are as human being are homosocius. Semua tatatan dalam kehidupan juga merupakan sebuah kontruksi sosial. Kamu gak bisa semena-mena selfish terhadap society karena ada banyak nilai yang terbentuk di masyarakat tersebut bahkan sebelum kamu dilahirkan. Ibaratnya dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Hargailah batasan-batasan dalam ruang publik dalam suatu lingkungan. Dunia tidak hanya berisi orang dewasa yang sudah lebih open dan paham akan sebuah konsekuensi. Dunia tidak bisa seapatis itu. Sadarkah, terkadang kita bisa jadi role model bagi orang lain bahkan bagi anak kecil. Apalagi di dunia yang saat ini serba terdigitalisasi, semua serba virtual dan accessible. Bisa jadi anak-anak kecil jaman sekarang semakin miris kelakuannya semua karena ulah kita sendiri sebagai generasi pendahulunya, sebagai role modelnya. Setidaknya jika kamu tidak bisa membatasi behaviormu dalam ruang publik dengan alasan "fuck yeah people opinion" atau "fuck yeah society". Berilah batasan pada dirimu demi kehormatan orang tuamu. Atau kalau kamu masih berdalih "orang tua gue aja gak komentar kok", berilah batasan pada dirimu sendiri demi kebaikanmu masa depan. Dosen Komunikasi dan Negosiasi Bisnis saya pernah berkata di kelas, bahwa yang pertama kali diselidiki headhunter atau job recruiter dalam menganalisis personality pelamar kerjanya adalah aktivitasnya di jejaring sosial. Sekecil apapun perilakumu di sosial media dapat mempengaruhi penilaian atas dirimu tidak peduli sepintar apapun atau setinggi apapun nilai rapot atau nilai UN mu. See, life is not that simple. Everything is corresponding each other. Dan pernahkah kamu mendengar yang namanya tattoo virtual, yaitu apapun yang kamu post di jagat virtual pada dasarnya akan menjadi permanen walaupun kamu sudah menghapusnya (kalo ini dosen Sistem Informasi Pengantar saya yang bilang). Jadi, mari sama-sama belajar untuk lebih behave di ruang publik. Karena dunia apalagi internet tidak sesederhana itu. Itu aja sih opini saya yang super ngalor ngidul. Saya nulis ini bukan maksud untuk nyinyir secara personal terhadap orang tertentu. Seperti yang saya tegaskan di awal, saya melihat dari sudut pandang fenomenanya, karena yang kayak gini gak cuma satu kok, banyak. Saya juga bukan orang yang sempurna dan saya gak mau dicap sebagai orang yang suka ngejudge atau ngurusin urusan orang lain. Saya cuma mau memberikan reaksi terhadap aksi. Kalau ada yang mau beri reaksi terhadap saya juga gak masalah. Semua orang bebas untuk mengemukakan pendapat, selama etis dan memiliki dasar yang jelas. Hehe. Ciao!
0 Comments
Halo. Sudah lama banget gak posting tulisan. Ya akhir-akhir ini memang sedang disibukan sama berbagai kegiatan akademis (semester 4 yang gak nyantai) dan non akademis dan tanggung jawab lainnya (hingga blog ini terabaikan karena gak masuk prioritas hehe). Jadi kali ini saya akan coba menulis full-report saya mengenai peristiwa besar yang baru-baru ini terjadi di kampus saya tercinta, Universitas Gadjah Mada, yaitu Pesta Rakyat yang melibatkan berbagai elemen UGM, mulai dari Mahasiswa, Tenaga Pendidik sampai Pedagang Bonbin yang akan di relokasi. Lho? Pesta Rakyat? Bukannya itu simulasi ya kak? Itu respon yang adik (kandung) saya berikan ketika saya tanya, "Kamu sama bapak liat berita tentang aksi di UGM gak hari ini?" Saat itu saya menyadari bahwa pengaruh ibu rektor di luar UGM tetap besar adanya di luar UGM. Bagaimana pun Ibu Rektor tetap rektor kita. Kredibilitasnya di khalayak umum juga bukan hal yang main-main. Sebagai mahasiswi yang kebetulan mengikuti organisasi yang bergerak di eksekutif kemahasiswaan, saya terbilang cukup mengikuti perkembangan berita seputar kemahasiswaan di UGM. Pesta Rakyat tempo hari tersebut adanya merupakan manefestasi dari puncak toleransi mahasiswa terhadap masalah-masalah di UGM saat ini. UGM memang sedang tidak baik-baik saja. Sebagai mahasiswa yang dituntut untuk menggunakan intelektualnya, mahasiswa selalu mencoba mengaji dan melihat suatu permasalahan dari berbagai perspektif sebelum melakukan aksi besar seperti demo. Tak terhitung banyaknya kajian yang telah dihasilkan seputar masalah kemahasiswaan yang biasanya dilakukan Departemen Kajian Strategis dan Departemen Advokasi, di lembaga-lembaga mahasiswa mulai dari kajian mengenai kantin sosio humaniora (bonbin), kajian beasiswa hingga kajian mengenai UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang tiap tahun makin naik jumlahnya. Selain rilis-rilis kajian, terdapat sejumlah aksi lain seperti diskusi, foto #bUKTicinta yang ditujukan untuk menolak kenaikan UKT, sampai gerakan #SaveBonbin. Namun, kerapkali progresnya buntu di suatu titik. Hingga saya pernah bertanya di suatu grup, "apa dari aksi-aksi ini ada yang goalnya benar-benar terealisasi? Sebab ibaratnya, kalau pihak rektorat sudah berkehendak, mahasiswa bisa apa?". Saya sendiri pada dasarnya bukan merupakan mahasiswi yang sangat aktivis yang rela turun ke jalan dan berorasi menentang tirani. Saya cenderung realistis dalam menyikapi suatu hal. Bahkan harus saya akui, awalnya saya cenderung skeptis terhadap Pesta Rakyat ini. Namun aksi mahasiswa kemarin berhasil mengubah pandangan saya. Bahwa keadilan memang perlu diperjuangkan, bahwa mahasiswa masih dapat disatukan untuk sebuah perubahan. Sabtu, 30 April 2016 Seruan-seruan Pesta Rakyat sudah ramai diperbincangkan di media sosial sejak kemarin. Sebagai media BEM FEB UGM. Saya juga telah mendapat informasi mengenai ini. Muncul pertanyaan, "apa bakalan rame? paling yang datang aktivis-aktivis bem aja." Pun demikian sudah menjadi kewajiban saya sebagai media untuk tetap meliput aksi ini. Siang itu Ketua BEM dan kepala advokasi BEM FEB sempat mengadakan rapat teknis lapangan. Saya mengetahui bahwa hari Senin, masa mahasiswa akan dibagi menjadi 'Berlin Barat' (kluster saintek, teknik dan medika) dan 'Berlin Timur' (kluster soshum, sekolah vokasi dan agro). Selain itu akan ada penampilan seperti puisi, teatrikal dan lainnya. Ekspetasi saya masih sangsi saat itu. Minggu, 1 Mei 2016 Pada malam hari, Ibu rektor melakukan siaran di radio Swaragama yang didengarkan seluruh mahasiswa. Dalam siarannya ibu rektor mengatakan bahwa pesta rakyat besok merupakan sebuah 'Simulasi Aksi' yang menjadi praktikum mahasiswa dalam kegiatan politik praktis. Sontak, mahasiswa terluka, aksi yang diadakan sebagi bukti cinta diputarbalikan faktanya sebagai simulasi aksi. Sejumlah protes dari mahasiwa bermunculan di timeline media sosial. Siaran ini bagi saya merupakan blunder bagi rektorat itu sendiri. Teman-teman (bahkan saya sendiri) yang awalnya ogah-ogahan mengikuti aksi ini pada akhirnya tergerak untuk datang esok hari. Senin, 2 Mei 2016 Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, seperti biasa rektorat mengadakan upacara peringatan hari besar sehingga aksi akan mulai dilaksanakan pada pukul 09.00. Sebagai mahasiswa FEB yang tergabung dalam 'Berlin Timur', kami berkumpul di taman Sansiro, FISIPOL bersama mahasiswa fisipol, hukum, FIB, Psikologi, Filsafat, SV, FTP, Peternakan, FKH dan Pertanian. Suasana diluar dugaan saya. Sangat ramai, terlebih lagi FISIPOL sangat akomodatif bagi mahasiswa yang akan melakukan aksi. Kemudian kami akan bergerak menuju rektorat yang letaknya tidak jauh dari FISIPOL. Setelah itu masa sampai di rektorat namun kami belum dapat melaksanakan aksi sebab upacara masih berlangsung. Baru sekitar pukul 10.00-an masa 'Berlin Timur' bergerak ke utara rektorat dan bergabung dengan masa dari 'Berlin Barat', menuntut Ibu Rektor Dwikorita Karnawati untuk melakukan audiensi secara terbuka dengan mahasiswa. Dibawah terik matahari gemuruh drum, suara nyanyian dan orasi-orasi menggema di utara rektorat. Ya, saat itu pertama kalinya saya melihat mahasiswa bersatu dalam solidaritas. Bahkan mahasiswa memindahkan tenda yang disediakan di depan rektorat. Satu panas, semua panas begitu seruannya. Sekitar pukul 11.00 saya kembali ke FEB karena ada kelas (yang akhirnya dibatalkan karena ibunya sakit). Sampai pukul 13,00 dengan mengikuti update dari teman-teman mahasiswa, dikabarkan ibu rektor masih belum mau turun. Sebagian teman-teman yang aksi kembali ke FEB untuk ishoma untuk kembali melanjutkan aksi setelah ishoma. Nampak wajah-wajah legam terbakar matahari terutama dari teman-teman yang rela duduk berjam-jam didepan rektorat. Dalam hati saya terharu akan perjuangan mereka. Setelah itu sebagian kembali lagi melakukan aksi di rektorat. Saya pun kembali melakukan live report di rekorat. Mahasiswa yang bertahan masih banyak sementara Ibu rektor dan jajarannya masih belum menunjukan tanda-tanda akan menemui mahasiswa. Sesuai dengan namanya yaitu Pesta Rakyat, mahasiswa mengadakan sejumlah penampilan seperti, pembacaan puisi dan teatrikal. Suasana masih sama panasnya seperti diawal seruan orasi dan gemuruh drum tak henti-hentinya dilancarkan. Tiba-tiba entah bagaimana ceritanya saya sedikit bingung, ibu rektor dan jajarannya tiba-tiba muncul dari barisan belakang mahasiswa. Merekapun berusaha menaikan kembali bendera yang diturunkan setengah tiang oleh mahasiswa. Kejadian yang lumayan membingungkan ini sontak mengagetkan mahasiswa yang notabenenya sudah mengepung lantai bawah rektorat. Ibu rektorpun menuju ke tangga depan untuk melakukan audiensi ditengah ribuan mahasiswa yang sedang panas. (jujur saja saya cukup takjub melihat keberanian ibu rektor berjalan melewati ribuan mahasiswa yang sedang 'panas') Namun audiensi pertama tidak berjalan lancar. Jawaban Ibu rektor yang tidak memuaskan mahasiswa kemudian membuat beberapa mahasiswa secara harafiah berbalik badan membelakangi ibu rektor yang sedang bicara. Aksi yang saya akui memang tidak sopan ini kemudia menimbulkan amarah dari salah satu jajaran rektorat yang belakangan diketahui bernama ibu Ning. "Bisa sopan gak? kalau gak sopan mending gausah diteruskan" itu petikan kata yang terdengar oleh saya yang terhalang barisan mahasiswa yang tinggi-tinggi. Drama pun belum berakhir, Ibu rektor dan jajarannya kembali ke singgasananya di lantai atas meninggalkan audiensi yang masih menggantung. Sejumlah mahasiswa kalap dan mengejar ibu rektor ke lantai atas dan jajarannya yang untungnya dapat dihalangi petugas. Sebagian kesal dan melempar botol bekas minuman air mineral. Untungnya tidak melukai siapapun. Kemudian tim negosiator dari mahasiswa melakukan negosisasi kembali dengan ibu rektor untuk melakukan audiensi. Mahasiswa kembali berorasi mengdengungkan seruan untuk bertemu ibu rektor dan juga diadakan orasi dari pedagang bonbin yang direlokasi. Kemudian presma BEM KM UGM, Mas Ali Zainal turun dan memberi informasi bahwa ibu rektor bersedia melakukan re-audiensi asalkan mahasiswa tetap tenang. Mahasiswa pun sepakat dengan hal tersebut. Sambil menunggu ibu rektor kembali orasi kembali dilanjutkan. Setelah berjam-jam menunggu kembali. Akhirnya sekitar pukul 17.30 ibu rektor kembali turun melakukan audiensi. Audiensi kali ini berjalan lebih damai karena selain cuaca sudah tidak panas, masa juga lebih tenang atas kesepakatan yang ditawarkan presma tadi.
Dalam audiensi kedua terdapat beberapa point penting yang menjadi statement ibu rektor:
Dengan dikeluarkannya pernyataan tersebut. Mahasiswa akan terus menagih janji rektorat terkait poin-poin yang masih akan didiskuksikan. Aksipun berakhir damai tanpa ada kerusakan apapun di gedung rektorat ataupun korban. Pada dasarnya aksi ini merupakan aksi damai. walaupun sedikit memanas pada siang hari. Tidak ada kerusakaan apapun. Tidak jatuh korban satupun, Namun entah kenapa saya masih banyak melihat stigma dan pemberitaan miring terkait aksi ini dari luar UGM bahkan dari teman-teman yang tidak ikut aksi yang seenaknya men-judge aksi ini. Ada yang mengatakan ini anarkis, tidak intelek dan sebagainya. Bahkan di sosial media ada yang beropini apakah kita melakukan aksi untuk menurunkan UKT apakah murni untuk membantu hanya untuk menambah uang jajan. Astaga, saya miris sekali membaca pendapat tersebut terlebih kalau tidak salah itu datang dari mahasiswa fakultas saya sendiri. Sangat picik dan sempit pandangannya. Sungguh naif kalau kami sampai seperti itu. Penurunan UKT tidak akan berdampak apapun bagi kami yang telah menjadi mahasiswa. UKT kami tidak akan turun, Penurunan UKT ini ditujukan untuk meringankan adik-adik yang akan masuk UGM 2016 nanti. kami juga tidak mungkin menambah uang jajan dari turunnya UKT. Bagaimana bisa? Apa saya harus bilang ke bapak saya "Pak, UKT Devi kan sekarang turun, berarti uang jajan Devi naik bisa dong"? Saya tidak sampai hati melakukan hal itu. Mungkin saya dan kalian beruntung bisa membayar UKT tersebut tanpa halangan sebab orang tua kita masih mampu untuk membayar UKT. Namun taukah kalian ada mahasiswi sekolah vokasi yang sampai menjual rumahnya untuk bayar UKT. Taukah kalian banyak mahasiswa yang terpaksa dicutikan karena gagal membayar UKT? Justru aksi ini setidaknya dapat membantu meringankan beban adik-adik kita yang akan masuk UGM tahun. Di titik itu saya baru menyadari bahwa mahasiswa fakultas saya kadang bisa se-ignorant ini. atau mungkin saya selama ini juga seperti itu. Mari buka mata, diluar sana banyak orang yang tidak semampu kita. Kamu mungkin beruntung terlahir berkecukupan, tapi ada yang tidak seberuntung kamu. Oleh karena itu melalui full report ini saya ingin mencoba memaparkan apa yang terjadi dalam aksi Pesta Rakyat tempo hari. Mungkin ada dari kalian yang menganggap saya masih bias. Percayalah, saya mencoba menulis full report ini seobjektif mungkin sebagai media. Ibu rektor tetap rektor kita. Saya sebagai mahasiswa tetap menghormati beliau. Namun, jika melihat akumulasi masalah yang sudah seperti ini, haruskah kita tetap harus diam? |
Author
Seeking for new experiences and happiness. Writting to express not impress. Archives
January 2022
|